Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2010 ini meliputi pembuangan tinja, pembuangan air limbah, dan pembuangan sampah. Berikut garis besar hasil Riskesdas Sanitasi sebagaimana uraian berikut (Sumber Hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010).
Pembuangan Tinja
Pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) yang dalam nomenklatur MDGs sebagai sanitasi meliputi jenis pemakaian/penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis ‘latrine’ dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan JMP WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu ‘improved’, ‘shared’, ‘unimproved’ dan ‘open defecation’. Dikategorikan sebagai ‘improved’ bila penggunaan sarana pembuangan kotoran nya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL.
- Secara nasional, di sebagian besar rumah tangga di Indonesian menggunakan fasilitas tempat Buang Air Besar (BAB) milik sendiri (69,7%). Akan tetapi, masih terdapat rumah tangga yang tidak menggunakan fasilitas tempat BAB yaitu sebanyak 15,8 persen.
- Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri lebih tinggi di perkotaan (79,7%) dibandingkan dengan di perdesaan (59,0%). Sebaliknya persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB 4 kali lebih tinggi di perdesaan (25,2%) dibandingkan dengan di perkotaan (6,7%). Sejalan persentase rumah tangga yang BAB menggunakan fasilitas umum, lebih banyak di perdesaan (7,2%) dibandingkan dengan perkotaan (5,3%); sedangkan persentase rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB bersama relatif sama di perkotaan dan perdesaan.
- Berdasarkan jenis kloset yang digunakan, secara nasional sebagian besar (77,6%) adalah jenis latrine/ leher angsa. Secara nasional jenis kloset cemplung/cubluk sebanyak 14,3 persen dan plengsengan sebesar 6,4 persen.
- Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga menggunakan jenis kloset leher angsa dimana di perkotaan relative lebih tinggi 88,1 persen dinadingkan dengan di perdesaan 63,5 persen. Sedangkan persentase rumah tangga yang menggunaan jenis kloset plengsengan, cemplung/cebluk maupun yang tidak memiliki fasilitas BAB lebih banyak di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Persentase rumah tangga yang menggunakan jenis kloset cemplung/cebluk di perdesaan 4 kali lebih tinggi (25,6%) dibandingkan dengan di perkotaan (5,9%).
- Rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB di perdesaan 3 kali lebih tinggi (2,8%) dibandingkan dengan di perkotaan (0,9%).
- Secara nasional tempat pembuangan akhir tinja sebagian besar rumah tangga di Indonesia (59,3%) menggunakan septic tank. Sebesar 16,4 persen masih melakukan pembuangan tinja di sungai/danau, dan (11,7%) di lubang tanah.
- Persentase tempat tinggal yang menggunakan tanki septik lebih tinggi (75,1%) di perkotaan dibandingkan (42,5%) di perdesaan demikian dengan yang menggunakan SPAL relatif lebih banyak (3,5%) di perkotaan dibandingkan (2,2%) di perdesaan.
- Persentase rumah tangga dengan tempat penbuangan akhir tinja di kolam/sawah, sungai/danau, lubang tanah, pantai/kebun dan lainnya relatif lebih banyak di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan.
- Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, maka semakin meningkat persentase rumah tangga yang menggunakan septic tank dan SPAL. Sebaliknya, semakin rendah pengeluaran rumah tangga maka semakin rendah persentase tempat pembuangan akhir tinja di kolam/sawah, sungai/danau, lubang tanah, pantai/kebun dan lainnya.
- Secara nasional, persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap pembuangan tinja layak, sesuai dengan laporan MDGs adalah sebesar 55,5 persen.
- Berdasarkan tempat tinggal, akses terhadap pembuangan tinja yang layak sesuai dengan MDGs, di perkotaan telah mencapai 71 ,4 persen, sedangkan di perdesaan baru 38,5 persen.
- Secara nasional, cara buang air besar sebagian besar rumah tangga di Indonesia (51,1%) tergolong improved.
- Berdasarkan tempat tinggal, di perkotaan cara buang air besar dengan kategori improved lebih tinggi (65,8%) daripada di perdesaan (35,3%). Sebaliknya open defecation jauh lebih tinggi di perdesaan (27,6%) daripada di perkotaan (7,5%).
- Berdasarkan tingkat pengeluaran, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, maka semakin meningkat pula persentase cara buang air besar kategori improved, serta semakin rendah persentase dengan kategori open defecation (BAB sembarangan).
Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)
Data sarana pembuangan air limbah yang terdapat dalam Riskesdas 2010 ini meliputi cara pembuangan dilihat dari ketersediaan saluran pembuangannya.
- Air limbah rumah tangga, secara nasional sebagian besar (41,3%) dibuang langsung ke sungai/parit/got
dan sebanyak 18,9 persen dibuang ke tanah (tanpa penampungan). Hanya
13,5 persen rumah tangga yang memiliki SPAL.
- Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga tertinggi yang memiliki SPAL lebih tinggi di perkotaan (18,7%) dibandingkan di perdesaan (7,9%), demikian dengan yang memiliki penampungan tertutup di pekarangan lebih tinggi di perkotaan (7,3%) dibandingkan di perdesaan (5,5%).
Pembuangan Sampah
Data pembuangan sampah yang ada dalam Riskesdas 2010 ini adalah cara pembuangannya. Dikategorikan
‘baik’ apabila rumah tangga pembuangannya diambil petugas, dibuat
kompos dan dikubur dalam tanah. Sedangkan bila dibakar, dibuang ke
sungai atau sembarangan dikategorikan kurang baik.
- Untuk penanganan sampah, secara nasional umumnya rumah tangga di Indonesia dilakukan dengan cara dibakar (52,1%) dan diangkut oleh petugas (23,4%).
- Menurut
tempat tinggal, di perkotaan cara penanganan sampah yang menonjol
adalah dengan cara diangkut petugas (42,9%), sedangkan di perdesaan yang
paling umum adalah dengan cara dibakar (64,1%). Baik di perkotaan (0,5%) maupun perdesaan (1,7%), hanya sedikit yang penanganan sampahnya dibuat kompos.
- Berdasarkan kemungkinan adanya pencemaran terhadap air maupun udara, penanganan sampah dikategorikan sebagai ‘baik’ dan ‘kurang baik’. Penanganan sampah secara nasional belum dilaksanakan secara baik, yaitu baru mencapai 28,7 persen.
- Rumah tangga dengan penanganan sampah yang baik di perkotaan (46,6%) lebih tinggi daripada di perdesaan (9,6%). Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi pula persentase rumah tangga dengan penanganan sampah baik.
Kesehatan Perumahan
Data
perumahan yang disajikan dalam Riskesdas 2010 ini adalah data jenis
penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kriteria ‘rumah sehat’. Jenis
bahan bakar untuk memasak berkaitan dengan kemungkinan terjadinya ‘indoors air pollution’, dimana dikategorikan ‘baik’ bila menggunakan jenis gas, minyak tanah dan listrik. Sedangkan untuk menilai kriteria ‘rumah sehat’ mengacu pada beberapa kriteria yang ada dalam Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.
Dalam Riskesdas 2010 ini, kriteria ‘rumah sehat’ yang digunakan bila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami cukup, dan tidak padat huni (lebih sama dengan 8m2/orang).
- Secara nasional 60 persen rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik, gas, dan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak, sementara sisanya masih menggunakan arang, kayu dan lainnya.
- Berdasarkan tempat tinggal, penggunaan bahan bakar untuk memasak jenis listrik, gas dan minyak tanah di perkotaan (82,7%), sedangkan di perdesaan lebih banyak penggunaan bahan bakar untuk memasak jenis arang, kayu bakar dan lainnya (64,2%).
- Hanya 24,9 persen rumah penduduk di Indonesia yang tergolong rumah sehat. Persentase tempat tinggal yang memenuhi kriteria rumah sehat lebih tinggi di perkotaan (32,5%) daripada di perdesaan (16,8%).
Hasil lengkap Riskesdas bidang sanitasi dan kesehatan lingkungan dapat dibaca pada laporan lengkap Riskesdas 2010, Badan Litbangkes Kemenkes RI Tahun 2010.