Minggu, 01 April 2012

Fogging dan Resistensi

Sebagaimana kita ketahui, usaha pengendalian dan pemberantasan vektor demam berdarah telah banyak dilakukan. Selain dengan menerapkan usaha pemberantasan sarang nyamuk (PSN), juga dilakukan fogging untuk memutus mata rantai penularan DBD.  Fogging dimaksudkan sebagai upaya membasmi nyamuk dewasa (aedes aegyti). Di pasaran, saat ini, salah satu jenis insektisida yang digunakan untuk memberantas vektor demam berdarah dengue adalah malathion.

Malathion merupakan insektisida golongan organofosfat. Ciri khas dari malathion, antara lain mampu melumpuhkan serangga dengan cepat dengan mekanisme menyerang sistem saraf terutama pada sinapsis. Ciri malathion lain, mempunyai toksisitas relatif rendah terhadap mammalia dan kurang stabil terhadap vertebrata. Selain itu malathion bersifat korosif terhadap logam, berbau khas, serta mempunyai rantai karbon yang pendek. Di pasaran bentuk malathion adalah cair, biasa diaplikasikan dalam thermal fogging. Mode of entry malathion adalah melalui kulit, pernafasan dan pencernaan.


Namun penggunaan insektisida (untuk memberantasan nyamuk aedes aegypti) yang kurang terkendali akan berakibat terjadinya resistensi pada nyamuk. Menurut World Health Organization (WHO), pengertian resistensi adalah berkembangnya kemampuan toleransi suatu spesies serangga terhadap dosis toksik insektisida yang mematikan sebagian besar populasi. Secara prinsip mekanisme resistensi ini akan mencegah insektisida berikatan dengan titik targetnya atau tubuh serangga menjadi mampu untuk mengurai bahan aktif insektisida sebelum sampai pada titik sasaran. Sedangkan jenis atau tingkatan resistensi itu sendiri meliputi tahap rentan, toleran baru kemudian tahap resisten. Beberapa faktor yang mempengaruhi mekanisme resistensi insektisida pada aedes aegypti ini, antara lain :
a.    Faktor genetic. Faktor ini tergantung pada keberadaan gen resisten yang mampu mengkode pembentukan enzim tertentu dalam tubun nyamuk. Enzim inih akan menetralisir keberadaan insektisida (misalnya enzim esterase).
b.    Faktor biologis yaitu kecepatan regenerasi nyamuk aedes aegypti. Kemampuan beradaptasi terhadap tekanan alam seperti pemberian insektisida dan didukung kecepatan regenerasi yang tinggi menyebabkan nyamuk cepat menurunkan generasi yang resisten.
c.    Faktor operasional meliputi bahan kimia yang digunakan, cara aplikasi, frekuensi, dosis dan lama pemakaian.

Laju perkembangan resistensi sangat dipengaruhi oleh tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi nyamuk Aedes aegypti  Pada kondisi yang sama populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan populasi yang menerima tekanan seleksi lebih lemah. 

Resistensi Aedes?
Pada dasarnya mekanisme resistensi insektisida pada serangga dapat dibagi menjadi tiga tahap. Pada tahap pertama terjadi peningkatan detoksifikasi insektisida, sehingga insektisida menjadi tidak beracun (hal ini disebabkan pengaruh kerja enzim tertentu). Kemudian terjadi penurunan kepekaan titik target insektisida pada tubuh,. Tahap selanjut terjadi penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit, sehingga menghambat masuknya bahan aktif insektisida dan meningkatkan enzim detoksifikasi.

Untuk menilai dan mengukur tingkat resistensi vektor aedes aegypti ini dapat dilakukan dengan melakukan uji susceptibility. Pengujian ini digunakan untuk menguji resistensi nyamuk terhadap insektisida. Uji ini menggunakan dosis insektisida sesuai standard WHO. Secara garis besar metode penilaian uji, dilakukan dengan menghitung jumlah nyamuk yang mati setelah terpapar insektisida. Sesuai standar ini, terdapat tiga jenis kategori pembacaan yaitu rentan jika jumlah kematian lebih dari 98%, toleran jika jumlah kematian antara 80%-98% dan resisten jika kematian kurang dari 80%.

Reference:
- Djojosumarto Panut. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius. Yogyakarta
- http://inspeksisanitasi.blogspot.com/2012/03/resistensi-aedes-aegypti.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar