Minggu, 01 April 2012

Indikator Kualitas Bakteriologis Makanan

Sebagaimana kita ketahui bahwa sanitasi makanan, khususnya hygiene dan sanitasi tempat pengelolaan makanan seperti restoran dan jasa boga, berperan penting dalam mencegah faktor makanan sebagai media penularan penyakit dan masalah kesehatan. Beberapa masalah terkait dengan hal tersebut diantaranya terjadinya keracuanan makanan, yang angka dan kualitasnya cenderung makin meningkat seiring mobilitas dan perkembangan industri makanan baik kemasan maupun jenis usaha warung, restoran, dan catering/jasa boga.

Beberapa faktor determinan terjadinya keracunan makanan dapat diakibatkan karena aspek pengolah makanan, peralatan, bahan makanan dan tempat pengelolaan makanan. terkontaminasinya makanan terutama disebabkan oleh berbagai faktor antara lain pengetahuan penjamah makanan masih rendah termasuk perilaku sehat, kebersihan badan penjamah makanan, kebersihan alat makan dan sanitasi makanan. Peran penjamah makanan sangat penting dan merupakan salah satu faktor dalam penyediaan makanan yang memenuhi syarat kesehatan. Makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh bakteri dapat menimbulkan infeksi maupun keracunan makanan jika dikonsumsi dan masuk ke dalam tubuh (Fardiaz, 1997).

Uji Bakteriologis Makanan
Agar dapat dilakukan evaluasi serta untuk mengetahui laik sehat (layak dan tidaknya),  suatu makanan dapat dikonsumsi diperlukan alat ukur dan indikator yang valid. Diantara parameter yang digunakan adalah parameter kimia dan bakteriologis. Pemeriksaan terhadap mikroorganisme pada makanan perlu dilakukan untuk mengevaluasi apakah makanan tersebut layak dikonsumsi atau tidak. Kegiatan ini penting dilakukan untuk memastikan bahwa konsumen terhindar dari penyakit yang ditimbulkan karena makanan yang terkontaminasi oleh bakteri maupun kimia.

Untuk parameter bakteriologis dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut. Angka bakteri adalah perhitungan jumlah bakteri yang didasarkan pada asumsi bahwa setiap sel bakteri hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu koloni setelah diinkubasi dalam media biakan dan lingkungan yang sesuai. Setelah masa inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh dihitung dan hasil perhitungannya merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah suspensi tersebut (Bibiana, 1994).

Bakteri E.coli dan Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri indikator untuk menilai pelaksanaan sanitasi makanan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1 098/Menke s/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Higiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran, angka kuman E.coli dalam makanan jadi disyaratkan 0 per gram contoh makanan, dan untuk minuman disyaratkan angka kuman E.coli 0 per 100 ml contoh minuman (WHO, 2000).

Seperti batas angka kuman untuk daging ayam yang diolah dengan pemanasan, batas maksimum yang disyaratkan untuk Staphylococcus aureus adalah 0 per gram contoh makanan. Untuk jenis minuman ringan dan sari buah batas maksimum yang disyaratkan untuk Staphylococcus aureus adalah 0 per ml (Keputusan Dirjen POM Nomor 03726/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dalam Makanan).

Untuk peraturan dan dasar hukum terbaru tentang angaka kuman dalam makanan akan ditulis pada kesempatan mendatang.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 Bidang Sanitasi

Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas 2010 ini meliputi pembuangan tinja,  pembuangan air limbah, dan pembuangan sampah. Berikut garis besar hasil Riskesdas Sanitasi sebagaimana uraian berikut (Sumber Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010  Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Tahun 2010). 

Pembuangan Tinja
Pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) yang dalam nomenklatur MDGs sebagai sanitasi meliputi jenis pemakaian/penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis ‘latrine’ dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan JMP WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu ‘improved’, ‘shared’, ‘unimproved’ dan ‘open defecation’. Dikategorikan sebagai ‘improved’ bila penggunaan sarana pembuangan kotoran nya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL.
-          Secara nasional, di sebagian besar rumah tangga di Indonesian menggunakan fasilitas tempat Buang Air Besar (BAB) milik sendiri (69,7%). Akan tetapi, masih terdapat rumah tangga yang tidak menggunakan fasilitas tempat BAB yaitu sebanyak 15,8 persen.
-          Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB milik sendiri lebih tinggi di perkotaan (79,7%) dibandingkan dengan di perdesaan (59,0%). Sebaliknya persentase rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB 4 kali lebih tinggi di perdesaan (25,2%) dibandingkan dengan di perkotaan (6,7%). Sejalan persentase rumah tangga yang BAB menggunakan fasilitas umum, lebih banyak di perdesaan (7,2%) dibandingkan dengan perkotaan (5,3%); sedangkan persentase rumah tangga yang menggunakan fasilitas BAB bersama relatif sama di perkotaan dan perdesaan.
-          Berdasarkan jenis kloset yang digunakan, secara nasional sebagian besar (77,6%) adalah jenis latrine/ leher angsa. Secara nasional jenis kloset cemplung/cubluk sebanyak 14,3 persen dan plengsengan sebesar 6,4 persen.
-          Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga menggunakan jenis kloset leher angsa dimana di perkotaan relative lebih tinggi 88,1 persen dinadingkan dengan di perdesaan 63,5 persen. Sedangkan persentase rumah tangga yang menggunaan jenis kloset plengsengan, cemplung/cebluk maupun yang tidak memiliki fasilitas BAB lebih banyak di perdesaan dibandingkan di perkotaan. Persentase rumah tangga yang menggunakan jenis kloset cemplung/cebluk di perdesaan 4 kali lebih tinggi (25,6%) dibandingkan dengan di perkotaan (5,9%).
-          Rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas BAB di perdesaan 3 kali lebih tinggi (2,8%) dibandingkan dengan di perkotaan (0,9%).
-          Secara nasional tempat pembuangan akhir tinja sebagian besar rumah tangga di Indonesia (59,3%) menggunakan septic tank. Sebesar 16,4 persen masih melakukan pembuangan tinja di sungai/danau, dan (11,7%) di lubang tanah.
-          Persentase tempat tinggal yang menggunakan tanki septik lebih tinggi (75,1%) di perkotaan dibandingkan (42,5%) di perdesaan demikian dengan yang menggunakan SPAL relatif lebih banyak (3,5%) di perkotaan dibandingkan (2,2%) di perdesaan.
-          Persentase rumah tangga dengan tempat penbuangan akhir tinja di kolam/sawah, sungai/danau, lubang tanah, pantai/kebun dan lainnya relatif lebih banyak di perdesaan dibandingkan dengan di perkotaan.
-          Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, maka semakin meningkat persentase rumah tangga yang menggunakan septic tank dan SPAL. Sebaliknya, semakin rendah pengeluaran rumah tangga maka semakin rendah persentase tempat pembuangan akhir tinja di kolam/sawah, sungai/danau, lubang tanah, pantai/kebun dan lainnya.
-          Secara nasional, persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap pembuangan tinja layak, sesuai dengan laporan MDGs adalah sebesar 55,5 persen.
-          Berdasarkan tempat tinggal, akses terhadap pembuangan tinja yang layak sesuai dengan MDGs, di perkotaan telah mencapai 71 ,4 persen, sedangkan di perdesaan baru 38,5 persen.
-          Secara nasional, cara buang air besar sebagian besar rumah tangga di Indonesia (51,1%) tergolong improved.
-          Berdasarkan tempat tinggal, di perkotaan cara buang air besar dengan kategori improved lebih tinggi (65,8%) daripada di perdesaan (35,3%). Sebaliknya open defecation jauh lebih tinggi di perdesaan (27,6%) daripada di perkotaan (7,5%).
-          Berdasarkan tingkat pengeluaran, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, maka semakin meningkat pula persentase cara buang air besar kategori improved, serta semakin rendah persentase dengan kategori open defecation (BAB sembarangan).

Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)
Data sarana pembuangan air limbah yang terdapat dalam Riskesdas 2010 ini meliputi cara pembuangan dilihat dari ketersediaan saluran pembuangannya.

-          Air limbah rumah tangga, secara nasional sebagian besar (41,3%) dibuang langsung ke sungai/parit/got dan sebanyak 18,9 persen dibuang ke tanah (tanpa penampungan). Hanya 13,5 persen rumah tangga yang memiliki SPAL.
-          Menurut tempat tinggal, persentase rumah tangga tertinggi yang memiliki SPAL lebih tinggi di perkotaan (18,7%) dibandingkan di perdesaan (7,9%), demikian dengan yang memiliki penampungan tertutup di pekarangan lebih tinggi di perkotaan (7,3%) dibandingkan di perdesaan (5,5%).

Pembuangan Sampah
Data pembuangan sampah yang ada dalam Riskesdas 2010 ini adalah cara pembuangannya. Dikategorikan ‘baik’ apabila rumah tangga pembuangannya diambil petugas, dibuat kompos dan dikubur dalam tanah. Sedangkan bila dibakar, dibuang ke sungai atau sembarangan dikategorikan kurang baik.

-          Untuk penanganan sampah, secara nasional umumnya rumah tangga di Indonesia dilakukan dengan cara dibakar (52,1%) dan diangkut oleh petugas (23,4%).
-          Menurut tempat tinggal, di perkotaan cara penanganan sampah yang menonjol adalah dengan cara diangkut petugas (42,9%), sedangkan di perdesaan yang paling umum adalah dengan cara dibakar (64,1%). Baik di perkotaan (0,5%) maupun perdesaan (1,7%), hanya sedikit yang penanganan sampahnya dibuat kompos.
-          Berdasarkan kemungkinan adanya pencemaran terhadap air maupun udara, penanganan sampah dikategorikan sebagai ‘baik’ dan ‘kurang baik’. Penanganan sampah secara nasional belum dilaksanakan secara baik, yaitu baru mencapai 28,7 persen.
-          Rumah tangga dengan penanganan sampah yang baik di perkotaan (46,6%) lebih tinggi daripada di perdesaan (9,6%). Menurut tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita, semakin tinggi tingkat pengeluaran rumah tangga, semakin tinggi pula persentase rumah tangga dengan penanganan sampah baik.

Kesehatan Perumahan
Data perumahan yang disajikan dalam Riskesdas 2010 ini adalah data jenis penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kriteria ‘rumah sehat’. Jenis bahan bakar untuk memasak berkaitan dengan kemungkinan terjadinya ‘indoors air pollution’, dimana dikategorikan ‘baik’ bila menggunakan jenis gas, minyak tanah dan listrik. Sedangkan untuk menilai kriteria ‘rumah sehat’ mengacu pada beberapa kriteria yang ada dalam Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.

Dalam Riskesdas 2010 ini, kriteria ‘rumah sehat’ yang digunakan bila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami cukup, dan tidak padat huni (lebih sama dengan 8m2/orang).
-     Secara nasional 60 persen rumah tangga di Indonesia menggunakan listrik, gas, dan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak, sementara sisanya masih menggunakan arang, kayu dan lainnya.
-     Berdasarkan tempat tinggal, penggunaan bahan bakar untuk memasak jenis listrik, gas dan minyak tanah di perkotaan (82,7%), sedangkan di perdesaan lebih banyak penggunaan bahan bakar untuk memasak jenis arang, kayu bakar dan lainnya (64,2%).
-     Hanya 24,9 persen rumah penduduk di Indonesia yang tergolong rumah sehat. Persentase tempat tinggal yang memenuhi kriteria rumah sehat lebih tinggi di perkotaan (32,5%) daripada di perdesaan (16,8%).

Hasil lengkap Riskesdas bidang sanitasi dan kesehatan lingkungan dapat dibaca pada laporan lengkap Riskesdas 2010, Badan Litbangkes Kemenkes RI Tahun 2010.

Mikroorganisme Dalam Air

Pengolahan limbah secara biologi adalah pengolahan air limbah dengan menggunakan mikroorganisme seperti ganggang, bakteri, protozoa, untuk menguraikan senyawa organik dalam air limbah menjadi senyawa yang sederhana. Pengolahan tersebut mempunyai tahapan seperti pengolahan secara aerob, anaerob dan fakultatif.

Water Micro Organism
Pengolahan air limbah bertujuan untuk menghilangkan bahan organik, anorganik, amoniak, dan posfat dengan bantuan mikroorganisme. Penggunaan saringan atau filter telah dikenal luas guna menangani air untuk keperluan industri dan rumah tangga, cara ini juga dapat diterapkan untuk pengolahan air limbah yaitu dengan memakai berbagai jenis media filter seperti pasir dan antrasit. Pada penggunaan sistem saringan anaerobik, media filter ditempatkan dalam suatu bak atau tangki dan air limbah yang akan disaring dilalukan dari arah bawah ke atas (Laksmi dan Rahayu, 1993).

Bau : Bau yang keluar dari dalam air dapat langsung berasal dari bahan buangan atau air limbah kegiatan industri, atau dapat juga berasal dari hasil degradasi bahan buangan oleh mikroba yang hidup di dalam air (Wardhana, 1999). Zat organik dalam limbah, yang secara umum mewakili bagian yang mudah menguap dari seluruh benda padat yang terdiri dari senyawa nitrogen, karbohidrat, lemak-lemak dan minyak-minyak mineral, bentuknya tidak tetap dan membusuk dan mengeluarkan bau yang tidak sedap (Mahida, 1993).

Timbulnya bau pada air limbah secara mutlak dapat dipakai sebagai salah satu tanda terjadinya tingkat pencemaran air yang cukup tinggi (Wardhana, 1999 ). Beberapa karakteristik fisik ini mencerminkan kualitas estetik dari air limbah (seperti warna dan bau ), sedangkan karakteristik lain seperti pH dan temperatur dapat memberikan dampak negatif pada badan air penerima.

Menurut Sunu (2001), faktor - faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme di dalam air adalah :

Sumber air :Jumlah dan jenis mikroorganisme di dalam air dipengaruhi oleh sumber air seperti air laut, air hujan, air tanah dan air permukaan. Komponen nutrient dalam air - Secara alamiah air mengandung mineral-mineral yang cukup untuk kehidupan mikroorganisme. Air buangan sering mengandung komponen­komponen yang dibutuhkan oleh spesies mikroorganisme tertentu. Komponen beracun - Bila terdapat di dalam air akan mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat di dalam air sebagai contoh asam-asam organik dan anorganik dapat membunuh mikroorganisme dan kehidupan lainya dalam air. Organisme air - Adanya organisme lain di dalam air dapat mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme air, seperti protozoa dan plankton dapat membunuh bakteri. Faktor fisik - Faktor fisik seperti suhu, pH, tekanan osmotik tekanan hidrostatik, aerasi dan penetrasi sinar matahari dapat mempengaruhi jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat di dalam air.

Tujuan pemrosesan air limbah secara biologi adalah untuk menghilangkan bahan organik dan anorganik yang terlarut dalam air yang sukar mengendap melalui proses penguraian biologis, penguraian ini memerlukan oksigen pada proses aerobik dan pada proses anaerobik berlangsung tanpa oksigen, proses biologis dapat digunakan untuk meniadakan pospat kebanyakan sistem biologis dapat mentolerir naik turunnya suhu. Pada pengolahan biologi air limbah, perlu dipertahankan agar mikroorganisme dapat menunjukkan kemampuannya yang optimal seperti bakteri untuk mengambil bahan-bahan organik dengan merancang peralatan dan sistem pengolahan yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri.

Sebelum melakukan pengolahan perlu ditinjau bahwa pada proses pengolahan air limbah pH harus berkisar 7 atau 6,5 – 9,5 karena semua proses berlangsung pada suasana netral. Proses netralisasi pada umumnya dilakukan dengan penambahan Ca(OH)2 kemudian dilakukan pengadukan agar reaksi antara asam dan basa dapat berlangsung dengan baik (Djabu et al.,1 990).

Sanitasi Alat Makanan

Salah satu sumber penularan penyakit dan penyebab terjadinya keracunan makanan adalah makanan dan minuman yang tidak memenuhi syarat higiene. Keadaan higiene makanan dan minuman antara lain dipengaruhi oleh higiene alat masak dan alat makan yang dipergunakan dalam proses penyediaan makanan dan minuman. Alat masak dan alat makan ini perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan mikrobiologi usap alat makan meliputi pemeriksaan angka kuman.

Sanitasi alat makan dimaksudkan untuk membunuh sel mikroba vegetatif yang tertinggal pada permukaan alat. Agar proses sanitasi efisien maka permukaan yang akan disanitasi sebaiknya dibersihkan dulu dengan sebaik-baiknya Pencucian dan tindakan pembersihan pada peralatan makan sangat penting dalam rangkaian pengolahan makanan. Menjaga kebersihan peralatan makan telah membantu mencegah terjadinya pencemaran atau kontaminasi terhadap peralatan dilakukan dengan pembersihan peralatan yang benar ).

Pencucian dan sanitasi peralatan dapur dapat dilakukan secara
manual dan mekanis dengan menggunakan mesin. Pencucian manual maupun mekanis pada umumnya meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

Pembuangan sisa makanan dan pembilasan: Sisa makanan dibuang kemudian peralatan dibilas atau disemprot dengan air mengalir. Tujuan tahap ini adalah menjaga agar air dalam bak-bak efisien penggunaannya.

Pencucian: Pencucian dilakukan dalam bak pertama yang berisi larutan deterjen hangat. Suhu yang digunakan berkisar antara 43°C- 49°C (Gislen, 1983). Pada tahap ini diperlukan alat bantu sikat atau spon untuk membersihkan semua kotoran sisa makanan atau lemak. Hal yang penting untuk diperhatikan pada tahap ini adalah dosis penggunaan deterjen, untuk mencegah pemborosan dan terdapatnya residu deterjen pada peralatan akibat penggunaan deterjen yang berlebihan.

Pembilasan: Pembilasan dilakukan pada bak kedua dengan menggunakan air hangat. Pembilasan dimaksud untuk menghilangkan sisa deterjen dan kotoran. Air bilasan sering digantikan dan akan lebih baik jika dengan air mengalir.

Sanitasi atau desinfeksi peralatan setelah pembilasan dapat dilakukan dengan beberapa metode. Metode pertama adalah meletakkan alat pada suatu keranjang, kemudian merendamnya di bak ketiga yang berisi air panas bersuhu 82°C selama 2 menit atau 100oC selama 1 menit. Cara lainnya adalah dengan menggunakan bahan sanitaiser seperti klorin dengan dosis 50 ppm dalam air selama 2 menit kemudian ditempatkan di tempat penirisan. Disarankan untuk sering mengganti air pada ketiga bak yang digunakan. Selain itu suhu air juga harus dicek dengan termometer yang akurat untuk menjamin efektivitas proses pencuciannya

Penirisan atau pengeringan: Setelah desinfeksi peralatan kemudian ditiriskan dan dikeringkan. Tidak diperkenankan mengeringkan peralatan, terutama alat saji dengan menggunakan lab atau serbet, karena kemungkinan akan menyebabkan kontaminasi ulang. Peralatan yang sudah disanitasi juga tidak boleh dipegang sebelum siap digunakan.

Sanitasi Alat Makan
Desinfeksi Peralatan: Peralatan dapur harus segera dibersihkan dan didesinfeksi untuk mencegah kontaminasi silang pada makanan, baik pada tahap persiapan, pengolahan, penyimpanan sementara, maupun penyajian. Diketahui bahwa peralatan dapur seperti alat pemotong, papan pemotong, dan alat saji merupakan sumber kontaminan potensial bagi makanan.

Frekuensi pencucian dari alat dapur tergantung dari jenis alat yang digunakan. Alat saji dan alat makan harus dicuci, dibilas dan disanitasi segera setelah digunakan. Permukaan peralatan yang secara langsung kontak dengan makanan seperti pemanggang atau open (open listrik, kompor gas, maupun microwave) dibersihkan paling sedikit satu kali sehari. Peralatan bantu yang tidak secara langsung bersentuhan dengan makanan harus dibersihkan sesuai kebutuhan untuk mencegah terjadinya akumulasi debu, serpihan bahan atau produk makanan, serta kotoran lainnya.


Article Source:
  • Mikrobiologi Pangan. Direktorat Surveilans dan Penyuluhan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya. Balai Pengawasan Obat dan Makanan: BPOM, 2003, Jakarta.
  • Purnawijayanti, H.A. (2001) Sanitasi Higiene dan Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan. Kanisius: Yogyakarta.

Pencemaran Makanan

Makanan yang terkontaminasi dapat menimbulkan gejala penyakit baik infeksi maupun keracunan. Kontaminasi makanan adalah terdapatnya bahan atau organisme berbahaya dalam makanan secara tidak sengaja. Bahan atau organisme disebut kontaminan. Terdapatnya kontaminan dalam makanan dapat terjadi melalui 2 (dua) cara yaitu kontaminasi langsung dan tidak langsung atau kontaminasi silang. Kontaminasi langsung adalah kontaminasi yang terjadi pada makanan mentah, karena ketidaktahuan atau kelalaian baik disengaja atau tidak disengaja.

Sedangkan kontaminasi silang adalah kontaminasi yang terjadi secara tidak langsung akibat ketidaktahuan dalam pengelolaan makanan. Contoh makanan mentah bersentuhan dengan makanan masak, makanan bersentuhan dengan peralatan kotor, seperti piring, sendok, pisau dan lainnya.

Menghindari Pencemarn Makanan
Makanan mulai dari proses pengolahan sampai siap dihidangkan dapat memungkinkan terjadinya pencemaran oleh mikrobia. Pencemaran mikrobia dalam makanan dapat berasal dari lingkungan, bahan-bahan mentah, air, alat-alat yang digunakan dan manusia yang ada hubungannya dengan proses pembuatan sampai siap disantap

Kontaminasi makanan dapat dibedakan dalam tiga macam, antara lain :

Kontaminasi biologis. Kontaminasi biologis adalah organisme yang hidup yang menimbulkan kontaminan dalam makanan. Jenis mikroorganisme yang sering menyebabkan pencemaran makanan adalah bakteri (Clostridium perfringens, Streptokoki fecal, Salmonella), fungi (Aspergillius, Penicillium, Fusarium), parasit (Entamoeba histolytica, Taenia saginata, Trichinella spiralis, dan virus (virus hepatitis A/HAV)

Kontaminan kimiawi : Kontaminasi kimiawi adalah berbagai macam bahan atau unsur kimia yang menimbulkan pencemaran atau kontaminan pada bahan makanan. Beberapa mekanisme proses kontaminasi, seperti dengan cara terlarut pada saat digunakan untuk proses pemasakan.

Kontaminan fisik : Kontaminan fisik adalah benda-benda asing yang bukan bagian dari bahan makanan, yang terdapat dalam makanan.

Pada dasarnya peranan makanan sebagai perantara penyebaran penyakit dan keracunan makanan, antara lain bahwa makanan dapat berperan sebagai agent (penyebab), vehichel (pembawa) dan sebagai media

Peran makanan sebagai Agent : Dalam hubungannya dengan penyakit/keracunan, makanan dapat berperan sebagai agen penyakit, seperti jamur/ikan/tumbuhan lain yang secara alamiah telah mengandung zat beracun.

Peran makanan sebagai Vehicle :

Makanan juga dapat sebagai pembawa (vehicle) penyebab penyakit. Seperti bahan kimia atau parasit yang ikut termakan bersama makanan, juga mikroorganisme pathogen dan bahan radioaktif. Makanan ini pada awalnya tidak mengandung zat¬ zat yang membahayakan tubuh, tetapi karena satu dan lain hal akhirnya mengandung zat yang membahayakan kesehatan.
Peran makanan sebagai media : Kontaminan yang jumlahnya kecil jika dibiarkan berada dalam makanan dengan suhu dan waktu yang cukup, maka akan tumbuh dan berkembang sehingga menjadi banyak dan dapat menyebabkan wabah yang serius..
Penjamah makanan yang menderita sakit atau karier menularkan penyakit yang dideritanya melalui saluran pernapasan, sewaktu batuk atau bersin dan melalui saluran pencernaan, biasanya kuman penyakit mencemari makanan karena terjadi kontak atau bersentuhan dengan tangan yang mengandung kuman penyakit.

Food Borne Disease

Penularan penyakit melalui makanan (food borne disease) dapat digolongkan menjadi food infection dan food poisoning, sebagai berikut :

Food Infection: Adalah masuknya mikroorganisme dalam makanan, berkembang biak sangat banyak dan dimakan orang dimana mikroorganisme tersebut menyebabkan sakit. Jenis-jenis mikroorganisme yang paling sering Salmonella, Shigella, E. coli, Vibrio cholerae, Vibrio parahaemolyticus. Bakteri patogen yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan merupakan penyebab penyakit. Bakteri patogen penyebab penyakit, mempunyai masa inkubasi dan gejala tergantung pada patogenitasnya.

Food Poisoning: Adalah bahan makanan yang memang mengandung bahan racun alami maupun makanan diberi zat-zat racun yang mempunyai tujuan komersial maupun nilai-nilai ekonomis, dapat juga disebabkan oleh makanan yang sudah tercemar oleh mikroorganime menghasilkan racun contoh bakteri Staphylococcus. Ada beberapa racun yang dihasilkan adalah eksotoksin dan endotoksin.
Food Borne Disease
Eksotoksin yaitu toksin yang disintesis di dalam sel mikroba, kemudian dikeluarkan ke substrat di sekelilingnya. Endotoksin yaitu toksin yang disintesis di dalam sel bakteri dan baru bersifat toksik bila sel mengalami lisis. Eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri biasanya bekerja secara spesifik terhadap tenunan-tenunan atau sel-sel tertentu. Misalnya sel-sel saraf, otot, sel-sel pada saluran pencernaan, dan sebagainya.
Beberapa eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri seperti racun botolinum yang bersifat neurotoksin (menyerang sel-sel saraf sehingga menyebabkan kelumpuhan), racun stafilokokus dan racun perfringens yang disebut enterotoksin karena penyerang sel-sel usus dan dapat menyebabkan diare. Endotoksin lebih bersifat tahan terhadap panas dibandingkan dengan eksotoksin.


Article Source : Zupardi, Imam. (1999), Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Alumni Bandung.

Pengaruh Bising Terhadap Kesehatan

Pada tulisan terdahulu kita sudah singgung sekilas pengertian dan katagori kebisingan. Pada kesempatan ini kita coba tulis sekilas informasi terkait pengaruh kebisingan terhadap kesehatan.

Pengaruh bising terhadap kesehatan tergantung pada intesitas, frekuensi, lama paparan, jenis bising dan sensitivitas individu. Intesitas bising yang tinggi lebih menggangu dibanding intesitas bising yang rendah. Bising hilang timbul lebih menggangu dari bising kontinyu. Diantara bising hilang timbul, maka bising pesawat udara lebih mengganggu dibanding bising lalu lintas dan bising kereta api.

Dampak negatif utama yang timbul sebagai akibat dari kebisingan terutama pada aspek kesehatan. Bunyi mendadak yang keras secara cepat diikuti oleh reflek otot di telinga tengah yang akan membatasi jumlah energi suara yang dihantarkan ke telinga dalam. Meskipun demikian di lingkungan dengan keadaan semacam itu relatif jarang terjadi. Kebanyakan seseorang yang terpajan pada kebisingan mengalami pajanan jangka lama, yang mungkin intermiten atau terus menerus. Transmisi energi seperti itu, jika cukup lama dan kuat akan merusak organ korti dan selanjutnya dapat mengakibatkan ketulian permanen.

Kesepakatan para ahli mengemukakan bahwa batas toleransi untuk pemaparan bising selama 8 jam perhari, sebaiknya tidak melebihi ambang batas 85 dBA. Pemaparan kebisingan yang keras selalu di atas 85 dBA, dapat menyebabkan ketulian sementara. Biasanya ketulian akibat kebisingan terjadi tidak seketika sehingga pada awalnya tidak disadari oleh manusia. Baru setelah beberapa waktu terjadi keluhan kurang pendengaran yang sangat mengganggu dan dirasakan sangat merugikan. Pengaruh-pengaruh kebisingan selain terhadap alat pendengaran dirasakan oleh para pekerja yang terpapar kebisingan keras mengeluh tentang adanya rasa mual, lemas, stres, sakit kepala bahkan peningkatan tekanan darah. Apakah kebisingan dapat menyebabkan perubahan yang menetap seperti penyakit tekanan darah tinggi.

Gangguan kesehatan lainnya selain gangguan pendengaran biasanya disebabkan karena energi kebisingan yang tinggi mampu menimbulkan efek viseral, seperti perubahan frekuensi jantung, perubahan tekanan darah, dan tingkat pengeluaran keringat. Sebagai tambahan, ada efek psikososial dan psikomotor ringan jika dicoba bekerja di lingkungan yang bising.

Bising menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja.Gangguan kesehatan yang ditimbulkan akibat bising pada tenaga kerja bermacam-macam. Efek atau gangguan kebisingan dapat dibagi menjadi dua yaitu (Siswanto, 1992).:

Gangguan fisiologis dapat berupa peningkatan tekanan darah dan penyakit jantung.
Kebisingan bisa direspon oleh otak yang merasakan pengalaman ini sebagai ancaman atau stres, yang kemudian berhubungan dengan pengeluaran hormon stres seperti epinephrine, norepinephrine dan kortisol. Stres akan mempengaruhi sistim saraf yang kemudian berpengaruh pada detak jantung, akan berakibat perubahan tekanan darah. Stres yang berulang-ulang bisa menjadikan perubahan tekanan darah itu menetap. Kenaikan tekanan darah yang terus- menerus akan berakibat pada hipertensi dan stroke.

Gangguan pada indera pendengaran.
Trauma Akustik: Merupakan gangguan pendengaran yang disebabkan pemaparan tunggal (Single exposure) terhadap intensitas yang tinggi dan terjadi secara tiba-tiba, sebagai contoh gangguan pendengaran atau ketulian yang disebabkan suara ledakan bom. Hal ini dapat menyebabkan robeknya membran tympani dan kerusakan tulang-tulang pendengaran.

Temporary Threshold Shift (TTS) atau kurang pendengaran akibat bising sementara (KPABS). Adalah efek jangka pendek dari pemaparan bising, berupa kenaikan ambang sementara yang kemudian setelah berakhirnya pemaparan terhadap bising akan kembali normal. Faktor yang mempengaruhi terjadinya TTS adalah intensitas dan frekuensi bising, lama waktu pemaparan dan lama waktu istirahat dari pemaparan, tipe bising dan kepekaan individual.

Ear Plug
Permanent Threshold shift (PTS) atau kurang pendengaran akibat bising tetap. Adalah kenaikan ambang pendengaran yang bersifat irreversibel, sehingga tidak mungkin terjadi pemulihan. Ini dapat disebabkan oleh efek kumulatif pemaparan terhadap bising yang berulang selama bertahun-tahun.

Nilai Ambang Batas (NAB) Kebisingan
Kebisingan mengganggu perhatian yang terus menerus dicurahkan. Maka dari itu, tenaga kerja yang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap suatu proses produksi atau hasil dapat melakukan kesalahan-kesalahan.Akibat kebisingan juga dapat meningkatkan kelelahan

Nilai ambang batas kebisingan mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 5 1/KEPMEN/1999. Nilai ambang batas ini menggunakan patokan kebisingan di tempat kerja yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaannya sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.

Intensitas dan Jam Kerja Diperkenankan
Waktu pemaparan sehari
Waktu Intensitas
kebisingan (NAB)
1
Jam
3
8
Jam
85
4
Jam
88
2
Jam
91
1
Menit
94
30
Menit
97
1.5
Menit
100
7.5
Menit
103
3.75
Menit
106
1.88
Menit
109
0.94
Menit
112



Article Source :
Antara lain : Siswanto, A. dan Haryuti,1991,Kebisingan, Balai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Departemen Tenaga Kerja, Jawa Timur  dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51/KEPMEN/1999