1. APA YANG TERJADI ?
2. MENGAPA BISA TERJADI ?
3. APA YANG HARUS DILAKUKAN ?
4. LANDASAN TEORI
5. PENUTUP
Ekosistem bumi kita tengah
mengalami perusakan pada berbagai skala. Pada skala dunia di
negara-negara berkembang antara tahun 1990-1995 terjadi penghilangan 65
juta ha hutan akibat overharvesting, konversi tanah untuk pertanian,
kebakaran hutan dan lain-lain, sehingga sekitar 2 milyar ha tanah rusak
terdegradasi dan mengancam kehidupan 1 milyar penduduk dunia. Antara
tahun 1993-2002 bencana pada tingkat dunia mencapai 2654 kejadian dengan
menelan kerugian lebih dari 603 milyar dolar Amerika. Bencana ini 40%
berupa banjir, 30% badai, 10% kekeringan, 7% tanah longsor, 5%
kebakaran, 5% temperature ekstrim dan hanya 3% karena gempa dan letusan
gunung berapi. Pada tahun 1998 saja bencana yang terkait dengan iklim
menelan biaya sama dengan biaya bencana untuk satu dasawarsa tahun
delapanpuluhan.Pada skala nasional kerusakan hutan di Indonesia mencapai
luas setara 6 lapangan sepakbola permenit dengan kerugian Rp 83 milyar
perhari atau Rp 30 trilyun pertahun. Padahal menurut UU No.41 Tahun 1999
tentang kehutanan, minimal 30% dari luas pulau atau daerah aliran
sungai (DAS) harus berupa hutan. Indonesia dengan luas daratan 200 juta
ha dan jumlah penduduk lebih dari 210 juta jiwa memiliki luas hutan yang
sudah berada di bawah 30%, sehingga perlu kebijakan dan upaya
penghentian deforestasi secara mendasar dan mendesak. Akibat rusaknya
hutan 31% dari 136 DAS besar di Indonesia berada dalam keadaan sangat
kritis, 41% kritis, dan 28% agak kritis.Sementara itu pulau Jawa dengan
luas 13,3 juta ha dan jumlah penduduk lebih dari 120 juta jiwa memiliki
luas hutan yang sudah jauh dibawah 30% sehingga degradasi yang terjadi
bukan saja di daratan namun juga terjadi di pantai dan laut Jawa, yang
mengalami perusakan sangat signifikan berupa pelumpuran, pendangkalan,
abrasi pantai, hingga turunnya tangkapan ikan para nelayan.Propinsi Jawa
Barat dengan luas 3,7 juta ha dan jumlah penduduk diatas 3,6 juta jiwa
memiliki luas hutan yang masih pada kondisi baik tinggal 7-9% saja.
Gangguan terjadi karena pencurian kayu 80%, perambahan hutan 10%,
kebakaran hutan 7%, dan karena bencana alam 3%. Kebutuhan kayu di Jawa
Barat mencapai 2,5 juta m3/tahun, sementara kemampuan produksinya hanya
sekitar 300.000 m3/tahun. Akibat nyata dari kerusakan hutan ini sudah
sangat dirasakan berupa kemandegan dan turunnya tingkat produktivitas
pertanian, mengalami kekurangan air dan kekeringan dimusim kemarau,
serta mengalami banjir dan longsor dimusim penghujan. Bencana yang
dihadapi Jawa Barat bukan saja berupa bencana alam dan lingkungan tetapi
juga berupa bencana sosial dan ekonomi seperti bangkrutnya sebagian
besar pabrik tekstil, berlipatgandanya jumlah penduduk miskin, serta
ancaman berbagai penyakit baik yang disebabkan oleh virus, bakteri,
parasit maupun pathogen lainnya seperti flu burung, demam berdarah,
polio, malaria, anthrax, kusta, disamping penyakit kulit, pernapasan
atau penyakit pencernaan yang biasa.Kota Bandung dengan luas lahan
16.729 ha dan jumlah penduduk 2,5 juta jiwa memiliki ruang terbuka hijau
tinggal 1,5% yang seharusnya memiliki luas hutan kota paling tidak 10%
(menurut PP No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota). Curah hujan di tahun
1896 masih 3000 mm/tahun, saat ini hanya sekitar 2250 mm/tahun.
Koefisien run-off di kota Bandung sudah mencapai 90% pada tahun 2004,
padahal tahun 1960 masih sekitar 40%. Temperatur maksimum kota Bandung
saat ini mencapai 34oC, padahal sebelumnya tidak pernah lebih dari 27oC.
Kondisi hujannya semakin asam (pH 3,5) dan jumlah hari sehatnya tinggal
55 hari karena udara kota Bandung telah semakin tercemar. Kadar Pb
dalam udara kota Bandung sudah diatas ambang batas sehingga bukan
sekedar membahayakan kesehatan namun juga bisa berdampak buruk pada
tingkat kecerdasan penduduknya dikemudian hari. Sungai di kota Bandung
berjumlah 46 buah dengan panjang 268 km serta 77 buah mata air saat ini
berada dalam keadaan sekarat. Kota Bandung tengah menghadapi masalah
kekeringan kota. Muka air tanah sudah sangat menurun, dalam sepuluh
tahun terakhir ini muka airtanah dangkalnya telah menurun hingga 10
meter dan airtanah dalamnya mencapai 80 meter, akibatnya terjadi
landsubsidence sedalam 2 meter pada lahan seluas 5 x 3 km di daerah
Dayeuh Kolot. Kondisi ini diperparah dengan kerusakan di Kawasan Bandung
Utara (KBU) yang telah mencapai 70%. Kawasan ini merupakan kawasan
lindung dan daerah tangkapan air hujan bagi cekungan Bandung dengan
potensi 0,25 x 1,2 milyar m3/tahun, merupakan 60% dari sumber pasokan
air tanah Kota Bandung serta merupakan infrastruktur alam untuk
memelihara kestabilan iklim mikro Kota Bandung.Secara teoritis apabila
fungsi kawasan lindung di hulu sub DAS sungai-sungai kecil Kota Bandung
dapat dipulihkan, sebenarnya Kota Bandung tidak perlu mengalami
kekeringan dan dapat memenuhi kebutuhan air warganya sepanjang tahun.
Namun dengan kondisi kawasan lindung yang rusak , bila hujan tidak ada
yang tersimpan atau meresap ke dalam tanah karena langsung melimpas.
Penelitian menunjukkan bahwa potensi air yang bisa dimanfaatkan di musim
kemarau tinggal 10% saja atau 28.750.000 m3/tahun, itupun kualitasnya
sangat jelek karena tercemar oleh limbah, padahal kebutuhannya sudah
mencapai 182.500.000 m3/tahun. Jadi sudah sangat defisit. Bayangkan
menurut prediksi National Geographic, pada tahun 2015 kota Bandung
berpenduduk 5,3 juta jiwa dengan kebutuhan air bersihnya 386.900.000
m3/tahun dengan basis kebutuhan air 200 liter/ orang/hari. Kalau kota
Bandung bertambah penduduk 1 orang, berarti harus menyediakan air 200
liter/ orang/ hari.
2. MENGAPA BISA TERJADI ?
Nampak
sekali dari kenyataan di atas kerusakan lingkungan di manapun sudah
akan memberikan dampak secara multiskala, mulai dari skala mikro hingga
skala global. Peran metabolisme planet bumi hasil proses fotosintesa di
Indonesia pada iklim global sangat menentukan. Indonesia merupakan
salahsatu dari paru-paru dunia selain Brasil di Amerika Selatan dan
Konggo di Afrika Tengah yang mampu menyerap karbon dioksida hingga 2,5
kg per meter persegi pertahun. Gas CO2 ini kemudian dikonversikan
menjadi gas oksigen yang dihirup oleh mahluk hidup di dunia. Lebih dari
Brasil dan Konggo Indonesia memiliki kondisi laut yang luas dan dangkal
serta matahari berlimpah sehingga memiliki konveksi air laut yang lebih
aktif dan merupakan wilayah pembentuk awan paling aktif menjadi salah
satu generator utama iklim global. Seharusnya kenyataan ini merupakan
posisi tawar Indonesia yang tiada taranya dalam proses globalisasi.
Sayang karena lingkungan lokalnya tidak terjaga dan iklim mikronya juga
rusak sehingga Indonesia pun menjadi sangat rentan terhadap pengaruh
dari perobahan iklim global.Berada diantara dua benua dan dua samudra
iklim di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh kejadian alam yang
terjadi kedua benua dan kedua lautan tersebut. Fenomena terbentuknya
kutub panas baik di lautan Pasifik maupun lautan Hindia menyebabkan
iklim musim di Indonesia yang diakibatkan oleh pemanasan benua Asia atau
Australia juga sangat dipengaruhi oleh perbedaan temperatur di bagian
barat dan timur lautan Pasifik serta temperatur di bagian barat dan
timur Lautan Hindia. Pengaruh El Nino dan La Nina (El Nino Southern
Oscilation - ENSO) akan sangat terasa di bagian timur Indonesia dan
bagian barat Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh pergeseran kutub
panas di lautan Hindia (Indian Ocean Dipole Mode Event-IODM). Perobahan
iklim dunia menyebabkan periode ulang ENSO yang biasanya terjadi selang
5-7 tahun kini cenderung sering muncul dengan selang 4 tahun, sementara
periode ulang IODM yang semula terjadi selang 15 bulan pada waktu
tertentu muncul pada selang 3-4 tahun juga.Dengan demikian multiskala
iklim di Indonesia harus dipahami dengan baik. Iklim Indonesia selain
dipengaruhi secara global juga dipengaruhi melalui perobahan regional
iklim musim dengan ENSO dan IODM. Untuk mengurangi pengaruh iklim global
dan regional tersebut bahkan untuk membangun kembali iklim global dan
regional, Indonesia harus mampu membangun kembali iklim mikromya yang
handal, dengan cara memanfaatkan dengan sebaik-baiknya kekhasan alam
masing-masing pulau dan lembah-lembahnya, menyetop penebangan hutan, dan
membangun kembali kawasan lindung di masing-masing
wilayah.Eko-hidrologi daerah aliran sungai merupakan sebuah sistem
komplek yang tidak boleh terputus. Siklus air ini merupakan serangkaian
gudang air dan pengalirannya yang mencakup gudang air di atmosfir pada
awan yang menggantung di puncak gunung atau bukit, gudang air di hutan,
gudang air permukaan di sungai dan danau, gudang air tanah dangkal,
gudang air tanah dalam dan gudang air di laut. Pada saat ini keberadaan
gudang-gudang air dan pengalirannya tidak terjaga, sehingga rusak bahkan
tercemar. Dengan hilangnya luas dan kualitas hutan siklus air ini
terpotong justru pada tahap yang paling menentukan kesinambungannya.
Hutan di gunung pada dasarnya adalah tangki air alami pada tempat yang
paling tinggi. Hutan di gunung adalah bendungan air alami yang paling
baik. Penelitian Dr.Eneas Salati dari Brasil menunjukkan total air hujan
yang didaur ulang oleh hutan adalah sebesar 74,1% yaitu air yang
kembali ke atmosfir oleh evaporasi daun 25,6% dan oleh transpirasi
48,5%, sementara limpasan dan air tanah sebesar 25,9%. Ini menunjukkan
bagaimana hutan dapat menjadi pengendali kelembaban, penjaga iklim
mikro, dan pembangkit hujan secara berkesinambungan. Sejumlah fungsi
hutan di atas sangat ditentukan oleh keberadaan jumlah dan keberagaman
tegakan pohonnya. Fungsi pepohonan sebagai makhluk hidup yang tidak bisa
berjalan tentunya akan sangat menjaga keberadaan sumber kehidupannya.
Di atas permukaan tanah pohon yang cukup besar akan menghasilkan oksigen
sekitar 2 kg/pohon/hari, membuat udara dan teduh karena pohon menyerap
panas 8x lebih banyak dari pada tanpa pohon, menjaga kelembaban karena
menguapkan kembali ? air hujan ke atmosfir, menyerap debu, mengundang
berbagai kehidupan lainnya, dan membuat keindahan. Sementara di bagian
bawah tanah pepohonan membantu mrenyerapkan air ke dalam tanah, mengikat
butir-butir tanah, dan mengikat air di pori tanah dengan gaya
kapilaritasnya dan tegangan permukaan. Kekuatan air yang melekat di
permukaan butir tanah ini akan mampu menahan air lainnya menjadi sebuah
bendungan alami yang limpasan airnya justru berada dibagian tanah yang
lebih dalam membuat aliran di dalam tanah.Sebagai sebuah negara
kepulauan Indonesia sangat kaya dengan potensi airnya. Namun karena
tidak memiliki kemampuan manajeman air yang tepat, utuh dan menyeluruh
justru Indonesia saat ini merupakan negara pengimpor air paling besar.
Dalam bentuk air maya Indonesia mengimpor sebesar 20,2 Giga m3 menurut
neraca perdagangan air maya antar negara tahun 1995-1999. Air maya
adalah sejumlah air yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk
pertanian atau barang konsumsi. Untuk menghasilkan 1kg padi misalnya
diperlukan 2700 liter air, 1 kg daging memerlukan 16.000 liter air, 1 kg
kentang 160 liter air dan seterusnya. Dengan demikian kekuatan ekonomi
dalam produk seperti itu sebenarnya berada pada kekuatan manajemen air,
sementara pada saat yang bersamaan dengan jumlah penduduk yang sangat
besar Indonesia merupakan pasar potensial bagi produk tersebut. Maka
dengan kehancuran sistem manejemen airnya pasar Indonesia yang sangat
besar itu justru akan dikuasai dan menjadi milik negara lain. Propinsi
Jawa Barat dengan kekhasan alamnya karena letak dan topografinya
memiliki potensi sumber air yang termasuk besar di dunia yaitu sebesar
81 milyar m3/tahun, namun karena kerusakan infrastruktur alamnya, pada
musim kemarau ketersediaan airnya tinggal 8 milyar m3/tahun padahal
kebutuhan totalnya sudah mencapai 17 milyar m3/tahun, sehingga setiap
musim kemarau Jawa barat akan mengalami masalah kekurangan air. Apabila
infrastruktur alamnya dalam keadaan baik karena pemulihan kondisi
hutannya, maka ketersediaan air di Jawa Barat bisa dipelihara sebesar
25% dari potensi totalnya sepanjang tahun yaitu 20 milyar m3/tahun, yang
berarti lebih dari cukup untuk memenuhi total kebutuhannya, yang
memungkinkan petani di Jawa Barat dapat menggarap lahan pertaniannya
sepanjang tahun menjadi jaminan alam peningkatan kesejahteraannya yang
nyata.
3. APA YANG HARUS DILAKUKAN ?
Penataan
kembali ekosistem harus dimulai dengan pemulihan infrastruktur alam
berupa hutan, sungai, danau, pesisir dan sejenisnya. Infrastruktur
buatan hendaknya dibangun justru untuk menguatkan dan menjaga
kesinambungan manfaat infrastruktur alam bukan untuk menggantikannya,
karena investasi dan biaya operasi infrastruktur alam adalah yang paling
murah. Gunakan phyto-technology atau teknologi ramah lingkungan lainnya
untuk maksud tersebut.Secara legal upaya di atas harus dimulai dengan
penetapan tata ruang kawasan lindung dan peraturan yang mampu
membudayakan perilaku yang seharusnya terjadi di kawasan tersebut.
Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam,
sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna
kepentingan keberkelanjutan. Di dalamnya bisa mencakup kawasan hutan
lindung yaitu kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu
memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai
pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan
tanah; kawasan resapan air yaitu kawasan yang mempunyai kemampuan
tinggi untuk meresapkan air hujan, sehingga merupakan tempat pengisian
air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air; sempadan sungai yaitu
kawasan sepanjang kanan kiri sungai, yang mempunyai manfaat penting
untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai; kawasan sekitar waduk
dan situ yaitu kawasan di sekeliling waduk dan situ yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsinya; dan kawasan
sekitar mata air yaitu kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air.Secara
regional Jawa Barat sudah menetapkan kawasan lindungnya sebesar 45% luas
lahannya sebagai konsekwensi dari kekhasan alamnya berdasarkan kriteria
objektif ketinggian dan kemiringan lahan, intensitas curah hujan, dan
jenis tanah (Perda No.2 tahun 2003 tentang RTRW Propinsi Jawa Barat).
Pada penerapannya di kabupaten dan kota sebenarnya harus dapat
ditetapkan lebih luas dari kawasan lindung regional di atas, karena
kebijakan setempat dapat menambahkan berbagai jenis kawasan lindung
lokal berdasar kepentingan dan kearifan budaya setempat yang akan lebih
menjamin kesinambungannya. Namun pada prakteknya saat ini justru
kabupaten dan kota seolah tengah berlomba memacu pendapatan asli
daerahnya dengan ekspansi kawasan budidayanya mengintervensi kawasan
lindung tanpa memperhatikan kepentingan jangka panjang dan kaidah-kaidah
kesinambungan. Tentunya hal ini akan sangat membahayakan semua pihak
termasuk para investornya sekalipun, karena ketidakcermatan pertimbangan
ekosistem dapat mengakibatkan bencana alam, bencana ekonomi dan bencana
sosial yang seringkali bersifat irrevesibel.Secara khusus Kota Bandung
harus melakukan penataan ekosistemnya berdasarkan batas-batas alamnya
sebagai bagian dari sebuah cekungan alami cekungan Bandung, yang juga
merupakan hulu dari sebuah daerah aliran sungai yang sangat penting
yaitu sungai Citarum. Secara regional Cekungan Bandung harus memiliki
kawasan lindung seluas 54% termasuk di dalamnya adalah kota Bandung,
sehingga pengkajian luasan hutan kota di kota Bandung menjadi sangat
menentukan. Potensi luas taman di kota Bandung saat ini mencapai 115,25
ha, bila ditambah dengan potensi ruang terbuka hijau lainnya seperti
jalur hijau, pemakaman, jalur tegangan tinggi, jalur kereta api, kawasan
konservasi termasuk Punclut, pekarangan rumah, perkantoran dan industri
seluruhnya bisa mencapai luas 8.336,48 ha yang berarti hampir separoh
dari luas kota Bandung 16.729 ha. Konsep ruang kota Bandung pasca
reformasi mestinya merupakan sebuah kota hutan yang sangat ditentukan
oleh jumlah dan jenis tegakan pohonnya, dan bukan lagi kota taman
sekedar untuk keindahan. Pola kegiatan usaha di KBU sebagai kawasan
lindung tidak dapat disamakan dengan kawasan yang sepenuhnya
dialokasikan sebagai kawasan budi daya. Ekowisata yang harus
dikembangkan adalah bukan yang bersifat large-scale and
capital-intensive industrial tourism, melainkan suatu community,
cultural, natural and landscape based turism yang melibatkan langsung
masyarakat setempat sebagai salah satu pemain utamanya, bukan sebagai
buruh pinggiran, satpam atau tukang kebun. Pengembangan ekonomi KBU
hendaknya berbasis karakteristik fungsinya sebagai kawasan lindung
(wanawisata, tahura, agrowisata, camping ground), kearifan budaya tatar
sunda, dan keunikan lokal: G. Tangkuban Perahu, mata air panas, air
terjun, patahan lembang, Cikapundung Hulu, Bosscha, gua Jepang, gua
Belanda; dipadu dengan Homestay/ Bed and Breakfast yang memanfaatkan
rumah-rumah penduduk yang layak untuk itu, tentu dengan dukungan pemda
dan investor. Ekowisata harus dikelola dengan kaidah-kaidah
berkelanjutan, sehingga menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat
lokal dan memberikan perlindungan bagi kawasan konservasi. Untuk
menjamin keberlanjutan usaha ekowisata skala kecil dan menengah
diperlukan dukungan aspek pengelolaan berupa kelembagaan, organisasi,
tatacara, legaldan perlindungan; fungsi pengelolaan berupa perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan; serta unsur pengelolaan berupa sumber daya
manusia, aliran dana, aliran informasi, dan kajian pasar.
4. LANDASAN TEORI
Terdapat
3 unsur penjamin kesinambungan yaitu tatanan ekosistem, evolusi nilai
dan evolusi kelembagaan. Tatanan ekosistem akan melahirkan kebijakan
infrastruktur baik yang alami maupun yang buatan untuk menjadi rujukan
aplikasi dalam bentuk tatacara alat dan prosedur. Evolusi kelembagaan
akan menata kembali aktivitas pemberdayaan dalam sektor-sektor kegiatan
yang utuh. Sementara evolusi nilai akan memberikan rujukan pembudayaan
membangun motivasi dan inisiatif untuk upaya pengembangan.Selain itu
harus dipertimbangkan dipenuhinya 3 paradigma kesinambungan yaitu
paradigma keterkaitan ekosistem (proses globalisasi), keterkaitan
multiskala (keanekaragaman), dan keterkaitan kesejahteraan. Keterkaitan
ekosistem menggeser pendekatan sistem terbuka menjadi sistem tertutup
atau semi tertutup untuk meminimumkan penggunaan sumberdaya dan buangan
yang tak bermanfaat. Dengan pergeseran tersebut akan terjadi pergeseran
pula tolok ukur dari upaya peningkatan nilai tambah yang
sebesar-besarnya (energetik) menjadi pertukaran nilai manfaat yang
berkelanjutan (exergetik). Sehingga yang menjadi ukuran di lapangan
bukan lagi penguasaan aktivitas hulu sampai hilir melaiankan membangun
siklus-siklus keterkaitan pada semua tahapan proses. Globalisasi adalah
kenyataan keterkaitan ekosistem ini tetapi hanya dianggap terjadi pada
skala besar saja. Sebetulnya proses ini terjadi secara multiskala bukan
hanya pada skala global melainkan juga pada skala nasional maupun lokal.
Paradigma keterkaitan multiskala menciptakan keanekaragaman sebagai
upaya alami untuk menyeimbangan keterbatasan sumberdaya alam terhadap
kebutuhan yang senantiasa meningkat. Gerak multiskala tidak terpusat
hanya pada satu poros putaran saja melainkan masing-masing skala
memiliki mekanisme putarannya sendiri, sehingga paradigma ini akan
mengubah pendekatan secara sentralistik menjadi pendekatan terdistribusi
dengan menciptakan banyak kemandirian, banyak jenis keberagaman,
sekalipun tetap berada pada satu keterkaitan ekosistem. Dalam bidang
ekonomi penerapan paradigma ini menetapkan keberadaan skala perekonomian
global, nasional, dan lokal yang masing?masing memiliki mekanisme
pasar, finasial dan distribusinya yang spesifik. Skala global saat ini
berbasis investasi multinasional dan pasar bebas, sementara ekonomi
skala kecil mestinya berbasis pemeliharaan daya beli dan pasar sendiri.
Bencana ekonomi akan terjadi bila penetapan kebijakan ekonomi melanggar
paradigma dasar alam ini. Paradigma keterkaitan kesejahteraan terjadi
karena manusia berbagi kesempatan kerja, tidak sekedar sekedar berbagi
kekayaan. Kesempatan kerja akan terbuka sangat luas dengan ekonomi jasa
yang dilandasi oleh mutu kemampuan dan kemauan sumberdaya manusia yang
secara pendidikannya. Ekonomi Jasa akan mencakup 70% dari kegiatan
perekonomian, akan merupakan kunci keberhasilan ekopnomi, serta akan
mendorong sebagian masyarakat melayani kepentingan masyarakat lainnya
(privatisasi layanan public pada masing-masing skala
perekonomiannya).Implementasi struktur dan paradigma kesinambungan di
atas perlu ditunjang oleh upaya pelembagaan pemberdayaan dan
pembuadayaannya, yang akan mencakup lembaga keuangan, lembaga pasar, dan
lembaga gudang serta penyampaiannya untuk upaya pemberdayaan ekonomi;
serta keberadaan lembaga keyakinan , lembaga silaturahim, dan lembaga
pendidikan untuk upaya pembudayaannya. Lembaga-lembaga diatas akan
memiliki kesepadanan fungsi dan keterkaitan diantara upaya pemberdayaan
ekonomi dan penegakkan nilai budayanya, saeperti dalam pengertian bank
adalah lembaga keyakinan ekonomi sementara lembaga keyakinan pembudayaan
haruys merupakan banknya aspirasi, pasar adalah silaturahimnya ekonomi
dan lembaga silaturakhim harus merupakan pasarnya aspirasi, demikian
pula gudang dan penyampaiannya adalah lembaga pembelajaran ekonomi dan
lembaga pendidikan seharusnya merupakan storage and delivery nya
nilai-nilai dan aspirasi.
5. PENUTUP
Penataan
kembali ekosistem nampaknya tidak dapat dilaksanakan hanya dengan
memperhatikan kriteria kekhasan alamnya saja namun juga harus dengan
secara mendasar menyertakan pertimbangan kearifan budaya setempat.
Keraifan budaya sunda misalnya telah mampu mengungkap esensi keterkaitan
ekosistemnya dengan istilah Siliasih yaitu harus saling mengasihi
karena bersama-sama berada hanya dalam satu sistem alam, esensi
keterkaitan multiskala dengan istilah Siliasah yaitu memberi keleluasaan
hidup dan berpendapat untuk mampu menciptakan keberagaman, serta esensi
keterkaitan kesejahteraan dengan istilah Siliasuh untuk saling berbagi
kesempatan, sehingga mampu meraih Siliwangi yaitu sasaran
sinergitas.Secara praktis di lapangan kearifan budaya sunda inipun
memberikan rujukan yang sangat seksama seperti diungkapkan dalam pesan
Saursepuh yang mengungkap perlunya pertimbangan keseksamaan penanganan
daerah aliran sungai dengan kearifan nilainya :
? Gunung - Kaian
? Gawir - Awian
? Cinyusu - Rumateun
? Sampalan - Kebonan
? Pasir - Talunan
? Dataran - Sawahan
? Lebak - Caian
? Legok - Balongan
? Situ - Pulasaraeun
? Lembur - Uruseun
? Walungan - Rawateun
? Basisir - Jagaeun.
Akhirul kalam cermati pula pesan Al-Quran dalam surat Qaaf (50) ayat 7-11 berikut:Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali mengingat Allah.Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba Kami, Dan Kami hidupkan dengan air tanah yang mati (Kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.Allah menurunkan air dari langit, lalu mengalir di lembah-lembah menurut ukurannya,… (Surat Ar Ra`Du (13) 17).Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran, lalu Kami menempatkannya di Bumi. Dan sesungguhnya Kami berkuasa untuk menghilangkannya. (Surat Al Mu`Minuun (23) 18).
? Gunung - Kaian
? Gawir - Awian
? Cinyusu - Rumateun
? Sampalan - Kebonan
? Pasir - Talunan
? Dataran - Sawahan
? Lebak - Caian
? Legok - Balongan
? Situ - Pulasaraeun
? Lembur - Uruseun
? Walungan - Rawateun
? Basisir - Jagaeun.
Akhirul kalam cermati pula pesan Al-Quran dalam surat Qaaf (50) ayat 7-11 berikut:Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali mengingat Allah.Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba Kami, Dan Kami hidupkan dengan air tanah yang mati (Kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.Allah menurunkan air dari langit, lalu mengalir di lembah-lembah menurut ukurannya,… (Surat Ar Ra`Du (13) 17).Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran, lalu Kami menempatkannya di Bumi. Dan sesungguhnya Kami berkuasa untuk menghilangkannya. (Surat Al Mu`Minuun (23) 18).
BIODATA PENULIS
Mubiar Purwasasmita, Lahir di Sumedang 27 Desember 1951, Anak ke-7 dari 10, Keluarga Hadjar Purwasasmita (Alm) guru dan pendiri Sekolah Guru B dan Sekolah Guru A di Sumedang, dan Ibu Rd.Robiah Soemawisastra (Alm) guru Sekolah Menengah Pertama di Sumedang. Menikah tahun 1979 dengan Mintarsih Binti H.Iyon sarjana ekonomi Unpad 1981. Pendidikan dasar dan menengah diikuti di kota Sumedang. Lulus Sarjana Teknik Kimia ITB Tahun 1975, Lulus Doktor Teknologi Pemrosesan di Institut Nationale Polytechnique de Lorraine di Nancy-Perancis tahun 1985. Lulus sarjana langsung bekerja di Pabrik Keramik PT KIA sebagai Insinyur Proses dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Produksi. Tahun 1978 kembali ke Kampus ITB menjadi dosen teknik kimia hingga saat ini, pernah menjadi Pembantu Rektor ITB Bidang Perencanaan, Pengembangan, dan Pengawasan (1993-1997), Ketua Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM-ITB) (1997-2000). Sejak tahun 2000 aktif sebagai Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta Ketua Lembaga Kajian Strategis Paguyuban Pasundan. Sebagai Dosen, Peneliti dan Pengabdi kepada masyarakat telah melakukan banyak hal nyata dan bermanfaat, antara lain : Mengembangkan Bahan Tahan Api Asal Lokal untuk membuat Reaktor Gasifikasi (1975-1978), Mengembangkan Sistem Pengolah Sampah Terpadu dengan berbagai alat yang dikembangkan sendiri, serta memecahkan permasalahannya pada berbagai bidang spesifik (1987-1992), Studi Penyediaan Air Baku yang mencakup masalah pengambilan dan penyimpanannya untuk Skala Industri (1980-1985), Mengembangkan Reaktor Kimia Baru berupa Reaktor Unggun Tetap dengan Aliran Gas dan Cairan yang sangat cepat dengan Katalis Padat yang sangat kecil untuk cairan organik maupun air (Thesis Doktor) (1980-1985), Merancang Alat Ekstraksi berbagai Bahan Alam Hayati seperti minyak nabati, atsiri, insektisida alam dll. (1988-1990), Mengembangkan Konsep Multiskala menyangkut keberadaan Usaha Desa, Nasional, dan Global (1996-2000), Mengembangkan Teknologi Bersih (Ecotechnology) dan penerapannya pada Tambak Udang Superintensif, Olah Lahan Pertanian Secara Terpadu, dll. (1997-2000), Mengembangkan Sistem Pabrik Skala Kecil dengan Penerapan Terdistribusi berbasis pengembangan Masyarakatnya, antara lain untuk Pabrik Gula mini, Pabrik Air Minum dalam kemasan, Fasilitas Penunjang Kampung Nelayan, dst. (1999-2000), Menginisiasi Metoda Dialog Partisipatif Masyarakat untuk membangun Strategi Pembangunan Kota, Kawasan Lindung Regional, Budaya Perusahaan, dll. (1997-2002), Ikut serta memecahkan berbagai masalah lingkungan alam yang kritis, tentang Infrastruktur Alam seperti Hutan, Sungai, Danau, Pesisir, Pulau Kecil, Udara, Iklim Mikro, dst. (2000-2003), Kajian Fenomenologi Nilai untuk membangun Kepekaan Aspiratif guna meningkatkan Potensi Manfaat Iptek (1983-2003), Penghutanan Kembali Lahan Kritis berbasis Masyarakat Setempat (2003-2004), Mengembangkan alternatif energi rakyat terbarukan, dan Olah lahan pertanian secara seksama berbasis bioreactor (2005-2006).
Mubiar Purwasasmita, Lahir di Sumedang 27 Desember 1951, Anak ke-7 dari 10, Keluarga Hadjar Purwasasmita (Alm) guru dan pendiri Sekolah Guru B dan Sekolah Guru A di Sumedang, dan Ibu Rd.Robiah Soemawisastra (Alm) guru Sekolah Menengah Pertama di Sumedang. Menikah tahun 1979 dengan Mintarsih Binti H.Iyon sarjana ekonomi Unpad 1981. Pendidikan dasar dan menengah diikuti di kota Sumedang. Lulus Sarjana Teknik Kimia ITB Tahun 1975, Lulus Doktor Teknologi Pemrosesan di Institut Nationale Polytechnique de Lorraine di Nancy-Perancis tahun 1985. Lulus sarjana langsung bekerja di Pabrik Keramik PT KIA sebagai Insinyur Proses dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Produksi. Tahun 1978 kembali ke Kampus ITB menjadi dosen teknik kimia hingga saat ini, pernah menjadi Pembantu Rektor ITB Bidang Perencanaan, Pengembangan, dan Pengawasan (1993-1997), Ketua Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM-ITB) (1997-2000). Sejak tahun 2000 aktif sebagai Ketua Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, serta Ketua Lembaga Kajian Strategis Paguyuban Pasundan. Sebagai Dosen, Peneliti dan Pengabdi kepada masyarakat telah melakukan banyak hal nyata dan bermanfaat, antara lain : Mengembangkan Bahan Tahan Api Asal Lokal untuk membuat Reaktor Gasifikasi (1975-1978), Mengembangkan Sistem Pengolah Sampah Terpadu dengan berbagai alat yang dikembangkan sendiri, serta memecahkan permasalahannya pada berbagai bidang spesifik (1987-1992), Studi Penyediaan Air Baku yang mencakup masalah pengambilan dan penyimpanannya untuk Skala Industri (1980-1985), Mengembangkan Reaktor Kimia Baru berupa Reaktor Unggun Tetap dengan Aliran Gas dan Cairan yang sangat cepat dengan Katalis Padat yang sangat kecil untuk cairan organik maupun air (Thesis Doktor) (1980-1985), Merancang Alat Ekstraksi berbagai Bahan Alam Hayati seperti minyak nabati, atsiri, insektisida alam dll. (1988-1990), Mengembangkan Konsep Multiskala menyangkut keberadaan Usaha Desa, Nasional, dan Global (1996-2000), Mengembangkan Teknologi Bersih (Ecotechnology) dan penerapannya pada Tambak Udang Superintensif, Olah Lahan Pertanian Secara Terpadu, dll. (1997-2000), Mengembangkan Sistem Pabrik Skala Kecil dengan Penerapan Terdistribusi berbasis pengembangan Masyarakatnya, antara lain untuk Pabrik Gula mini, Pabrik Air Minum dalam kemasan, Fasilitas Penunjang Kampung Nelayan, dst. (1999-2000), Menginisiasi Metoda Dialog Partisipatif Masyarakat untuk membangun Strategi Pembangunan Kota, Kawasan Lindung Regional, Budaya Perusahaan, dll. (1997-2002), Ikut serta memecahkan berbagai masalah lingkungan alam yang kritis, tentang Infrastruktur Alam seperti Hutan, Sungai, Danau, Pesisir, Pulau Kecil, Udara, Iklim Mikro, dst. (2000-2003), Kajian Fenomenologi Nilai untuk membangun Kepekaan Aspiratif guna meningkatkan Potensi Manfaat Iptek (1983-2003), Penghutanan Kembali Lahan Kritis berbasis Masyarakat Setempat (2003-2004), Mengembangkan alternatif energi rakyat terbarukan, dan Olah lahan pertanian secara seksama berbasis bioreactor (2005-2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar